JELAJAHNEWS.ID, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berharap pertumbuhan ekonomi Indonesia baru memasuki fase pemulihan pada kuartal II 2021.
“Tahun depan kami berharap akan berjalan (pemulihan ekonomi) terutama pada kuartal kedua dan ketiga, dan ini akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan minimal 5%,” ucapnya, Selasa (10/11/2020).
Ia pun menuturkan, proyeksi Kementerian Keuangan terkait pertumbuhan ekonomi 2020 masih berada di kisaran minus 0,6% hingga minus 1,7%. Namun demikian, lanjutnya, berbagai institusi lain memprediksi laju ekonomi Indonesia berada di rentang minus 1 hingga 1,5%.
Menurutnya, pembalikan ekonomi pada kuartal III 2020 juga terlihat dari membaiknya indikator perekonomian di mana secara permintaan agregat mulai mengalami pemulihan. Oleh karena itu, dirinya berharap mobilitas masyarakat yang sudah mulai membaik tetap terjaga dan kasus harian covid-19 terus menurun. Pasalnya, keyakinan konsumen merupakan elemen yang paling penting dalam proses pemulihan konsumsi dan hal tersebut hanya bisa dilakukan dengan menerapkan disiplin kesehatan yang baik.
“Konsumsi berbalik, investasi juga berbalik, ekspor juga mengalami pembalikan. Hanya impor yang mungkin dalam situasi yang cukup struggle. Kami berharap dalam kondisi dengan penemuan vaksin maka ayunan dari pembalikan arah ini akan semakin terakselerasi,” imbuh mantan direktur pelaksana bank dunia tersebut.
Tak hanya dari sisi permintaan, dilihat secara sektoral, mayoritas usaha juga mengalami pemulihan dari sisi produksi. Sri Mulyani mengungkapkan 12 dari 17 sektor usaha mulai pulih. Bahkan, 3 sektor usaha masih tetap mengalami pertumbuhan positif yaitu pertanian, informasi dan komunikasi, serta sektor jasa keuangan.
“Ini lah yang harus kita jaga bersama karena kita sudah melihat evidence-nya, buktinya, bahwa kalau kita melakukan disiplin kesehatan kita bisa mengatasi penyebaran covid namun tetap ekonominya bisa mulai pulih,” imbuhnya.
Kendati demikian, ia tetap meminta seluruh pihak untuk mewaspadai ancaman gelombang kedua pandemi covid-19. Menurutnya. hal ini lebih berbahaya sebab kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk menghadapi peningkatan kasus tak akan sebesar kemampuan pada gelombang pertama.
“Ini tentu menimbulkan kompleksitas dari sisi policy-nya karena masyarakat sudah cukup panjang dan lelah dan ekonominya mengalami tekanan, sehingga pada saat mereka harus menghadapi second wave, maka kemampuan dan endurance-nya untuk menangani meningkatnya covid itu juga akan sangat berbeda,” pungkasnya. (cni)