JELAJAHNEWS.ID – Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharief Hiariej angkat bicara terkait polemik vonis hukuman mati Ferdy Sambo.
Menurut Wamenkumham penerapan vonis hukuman mati untuk terpidana Ferdy Sambo masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama.
“KUHP Nasional meskipun telah diundangkan pada 2 Januari 2023, namun baru diberlakukan tiga tahun ke depan yakni 2 Januari 2026,” ungkap
Edward Hiariej secara virtual, di Kantor Kemenkumham, Rabu (15/2/2023).
Ketika disinggung terkait vonis mati Ferdy Sambo, Edward Hiariej enggan memberi komentar tentang vonis tersebut.
Dirinya mengatakan sebagai pejabat negara, tidak etis berkomentar terhadap putusan majelis hakim.
“Itu menyinggung kekuasaan yudikatif, menyinggung kekuasaan institusi lain,” tuturnya.
Namun sebagai seorang Guru Besar, Edward Hiariej menyebutkan, hukum pidana boleh saja mengomentari putusan pengadilan.
“Sebagai akademisi saya berpegangan asas res judicata pro veritate habetur, artinya putusan pengadilan harus dihormati dan dianggap benar,” imbuh Edward Hiariej.
Edward Hiariej mengatakan, yang harus dipahami masyarakat bahwa putusan vonis mati Ferdy Sambo itu belum berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Artinya ada upaya banding, ada kasasi bahkan kecenderungan akan melakukan Peninjauan Kembali (PK).
Mahkamah Konstitusi menyebutkan PK bisa dilakukan lebih dari satu kali, tidak ada batasan.
“Tidak ada batasan berapa kali orang boleh melakukan Peninjauan Kembali.
Ketika seorang terpidana mati melakukan Peninjauan Kembali atas putusannya yang belum berkekuatan hukum tetap, itu sebagai satu alasan menunda eksekusi. Kalau tidak ada batasan bisa dilakukan berkali-kali,” kata Edward Hiariej.
Kalau seandainya waktu berjalan sampai KUHP Nasional berlaku berdasarkan pasal 3 KUHP Nasional , terperiksa, terlapor, tersangka, terdakwa, terpidana harus digunakan aturan yang lebih menguntungkan karena terjadi perubahan peraturan perundang-undangan.
“Yang dipakai KUHP Nasional dengan percobaan sepuluh tahun penjara dilihat kalau berkelakuan baik diubah menjadi penjara seumur hidup atau hukuman sementara dua puluh tahun penjara. Kalau kelakuan dalam penjara tidak baik, eksekusi dilakukan,” kata Edward Hiariej.
Berkaitan dengan munculnya kekhawatiran dan pertanyaan publik terkait hukuman percobaan 10 tahun penjara bagi terpidana mati, apakah berpotensi terjadi jual beli surat kelakuan baik oleh kepala lembaga pemasyarakatan.
“Kelakuan baik terhadap seorang terpidana mati penilaian nanti tidak hanya oleh petugas Lapas, “kata Eddy Hiariej.
Eddy Hiariej menggarisbawahi bahwa kelakuan baik terhadap seorang narapidana lebih-lebih terpidana mati, penilaian nanti tidak hanya oleh petugas Lapas saja tetapi juga difungsikan Kimwasmat.
Pengawasan dan pengamatan yang dilakukan Hakim Pengawas dan Pengamat, sebagai bahan evaluasi terhadap putusan pengadilan dan juga terhadap pemidanaan dan pembinaan narapidana.
“Kimwasmat itu memastikan apakah vonis dan putusan pengadilan itu bisa berlaku efektif atau tidak untuk perbaiki si terpidana. Tidak hanya petugas lapas saja yang memiliki konduite, Warga Binaan Pemasyarakatan diatur dalam Peraturan Pemerintah terkait pelaksanaan pidana mati,” ungkapnya.
Sebelumnya, dalam sebuah video pendek yang viral, pengacara kondang Hotman Paris menyebut jabatan Kepala Lembaga Permasyarakatan bakal sangat “basah”, pasca disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP baru.
Penyebabnya, dalam Pasal 98 sampai 102 KUHP yang baru mengatur bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun. Jika setelah masa percobaan selesai dan pelaku berkelakuan baik, maka hukuman mati dapat dianulir.
“Berarti apa? Kalapas yang akan mengeluarkan surat berkelakuan baik bakal jadi tempat yang sangat basah. Siapa yang tidak mau bayar berapapun dari pada ditembak hukuman mati, side business,” kata Hotman.
Menurut Hotman Paris, hal ini sangat membahayakan masyarakat. Apalagi, aturan serupa juga diberlakukan untuk hukuman korupsi.(jn/**)