JAKARTA – Sampah umumnya barang yang tidak berguna dan mesti dibuang. Akan tetapi, sampah khususnya sampah plastik bisa menjadi barang bernilai tinggi di tangan Heryanti Simarmata.
Heryanti atau akrab disapa Yanti merupakan pendiri Komunitas Trashion Indonesia. Trashion sendiri merupakan kepanjangan dari trash to fashion, dimana di tempatnya sampah mampu disulap menjadi barang-barang yang modis seperti payung, tas, hingga koper.
Barang-barang modis itu pun memiliki nilai jual yang tinggi. Maka tak heran, jika nilai penjualan atau omzet yang bisa dikantonginya dari penjualan barang-barang tersebut mampu menembus angka Rp.20 juta per bulannya.
Yanti pun bercerita, ide awal dirinya menyulap sampah plastik dikarena kondisi ‘kepepet’. Ide itu muncul sekitar tahun 2007 lalu. Kala itu, terangnya, ia mengikuti program Green and Clean yang diadakan sebuah perusahaan swasta. Program ini sendiri mengubah sebuah kawasan di sekitar Pasar Minggu, Jakarta dari wilayah yang kumuh menjadi asri dan bersih.
“Dulu ada program Green and Clean tahun 2007. Nah awalnya kita hanya melakukan perubahan dalam lingkungan. Tadinya itu lingkungan kumuh, karena ada program Green and Clean kita melakukan perubahan dari lingkungan gersang kita buat menjadi asri. Kemudian melakukan pemilahan sampah kita membuka yang namanya bank sampah,” terang Yanti.
Setelah berjalan, lanjutnya, bank sampah yang ia bentuk rupanya mengumpulkan banyak sampah plastik dan saat dijual ternyata tidak bernilai. Karena komitmen terhadap kebersihan dan tak ingin membuang sampah plastik yang menggunung, ide tersebut pun muncul untuk mengolah sampah plastik itu.
Lalu, uia pun meminjam alat berupa mesin jahit kepada warga. Memang, Yanti mengaku saat itu hasilnya tidak sempurna. Sejalan dengan itu, kebetulan ada sebuah perlombaan terkait pengolahan sampah. Barang-barang produksi Yanti rupanya terpilih menjadi salah satu yang terbaik.
“Alhamdulillah kita the best karena orang-orang belum, kita sudah melakukan otak-atik duluan dari situ mulailah kita mulai dikenal orang Trashion sampai sekarang. Dari awalnya ide kepepet sebenernya. Karena nggak tau (sampah) mau diapain,” jelasnya.
Dalam mengembangkan Trashion, kata Yanti, ia melibatkan masyarakat yang berada di sekitar sana. Terutama, pada orang-orang yang menganggur dan tidak memiliki keterampilan. Di tempat itu, Yanti mengajari dan mengupah mereka.
Masalah sumber daya manusia memang menjadi masalah tersendiri buat Yanti. Sebab, orang atau penjahit profesional belum tentu mau mengolah sampah. Apalagi, proses pembuatan produk membutuhkan waktu yang lama, dari mencuci sampah, membuat model hingga menjahitnya.
“Kalau tukang jahit profesional mereka belum tentu mau mengerjakan sampah karena mereka berpikir di tempat lain bisa bikin berapa kodi. Jadi prosesnya yang panjang yang ditolak orang,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Yanti menuturkan, untuk produknya seperti tas kecil ia banderol sekitar Rp.70 ribu. Sementara, yang paling mahal berupa koper bisa mencapai Rp.700 ribu hingga Rp.800 ribu. Barang-barang tersebut biasanya dibeli oleh perusahaan swasta yang menggelar program Green and Clean dan membina komunitas Yanti.
Bahkan, barang-barang itu bisa tembus sampai Amerika Serikat dan Inggris. Yanti juga biasa menjual barang-barang tersebut melalui Facebook di akun Trashion Indonesia. Bukan tanpa alasan, ia memilih Facenbook karena ia lebih suka bercerita saat merilis produk-produknya.
“Saya suka di Fecebook karena leluasa bercerita, ketika setiap membuat produk baru saya ceritakan,” ucap Yanti.
Sebelum pandemi Corona, Yanti mengaku omzetnya bisa tembus hingga Rp.20 juta sebulan. Apalagi, saat menerima pesanan dari perusahaan yang membinanya.
“Kalau dulu, Alhamdulilah ya Rp.20 juta dapat, apalagi waktu kita ekspor,” jelasnya.
Sayang, kegiatan komunitas Yanti sendiri terpukul karena pandemi. Shingga dirinya pun harus mengurangi aktivitasnya sejak Maret atau sejak pemerintah menganjurkan tidak berpergian dan bekerja dari rumah. Yanti juga mengaku, kegiatannya baru dimulai belum lama ini. Dan ia berharap, situasi bisa segera pulih seperti semula.
“Mudah-mudahan jangan terus deh, kasihan anak-anak pada nanya kerja lagi. Karena yang saya bina ini kan anak-anak yang nganggur, mereka nggak punya skill jahit, intinya nggak punya skill apa-apa. Saya ajari terus gitu,” terangnya. (dtc)