JELAJAHNEWS.ID, MEDAN – Sepanjang tahun 2020, sedikitnya ada dua karakteristik perilaku pertambangan yang tidak pro rakyat. Karakteristik pertama ialah soal penguasaan wilayah produksi rakyat oleh perusahaan tambang yang menghasilkan sengketa lahan.
“Akibat hal tersebut, maka terjadi pelanggaran HAM, khususnya hak ekonomi, sosial, dan budaya, terhadap masyarakat setempat,” sebut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (Walhi Sumut), Doni Latuparissa saat menggelar konfrensi pers catatan akhir tahun 2020 Walhi Sumut, Kamis (31/12/2020).
Dalam hal ini, menurut Doni ada 6 wilayah konflik selaras dengan karakter tersebut, namun dengan varian yang berbeda sepanjang tahun 2020. Varian pertama, konflik penguasaan hutan pasca terbitnya izin Hutan Kemasyarakatan (Hkm) Perhutanan Sosial.
“3 kasus terjadi di Kabupaten Langkat dengan luas konflik mencapai 771 Ha. Diantaranya, Kelompok Tani Nipah Desa Kuala Serapuh, Kec. Tanjung Pura dan Kelompok Tani Hutan Mangrove Jaya, di Kec. Securai. Mereka berkonflik dengan perkebunan sawit yang terus beroperasi di wilayah izin Hkm-PS untuk kedua kelompok tani hutan tersebut,” bebernya.
Kemudian, varian kedua ialah, konflik tenurial di kawasan kehutanan yang melahirkan konflik horizontal antar sekelompok masyarakat. Adanya tumpang tindih klaim penguasaan hutan ini terjadi di Desa Nagakisar, Serdang Bedagai, dan Desa Wonosari Kecamatan Panai Hilir, Labuhan Batu Utara.
“Varian ketiga, konflik tenurial kawasan hutan yang disebabkan adanya investasi proyek strategis nasional Bendungan Lau Simeme di Kec. Biru-Biru, Deli Serdang. Dimana wilayah tersebut diklaim sebagai kawasan hutan produksi,” ungkap Doni.
Bahkan, sambungnya lagi, tahun 2018 Pemerintah mengeluarkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) seluas 420 Ha. Akhirnya, pembangunan bendungan berbuah konflik tenurial antara warga dengan Pemerintah.
“Padahal proyek Bendungan didirikan di atas tanah warga yang sudah dikelola turun temurun,” pungkasnya.
Lalu untuk Karakteristik kedua perilaku pertambangan yang tidak pro rakyat ialah, wilayah konsesi pertambangan yang tumpang tindih dengan kawasan hutan, seperti hutan lindung dan hutan konservasi.
“Dari data hasil analisis Walhi Sumut tahun 2020, diketahui bahwa seluas 1.751 hektar hutan lindung di 7 kabupaten di Sumut terdegradasi oleh perambahan kayu (illegal logging) maupun konversi ke wilayah perkebunan,” ungkapnya.
Perubahan fungsi kawasan hutan, sambungnya, diduga terjadi tumpang-tindih dengan izin perusahaan. Berbagai perusahaan dalam usaha perkebunan skala besar maupun usaha ekstraktif telah memicu berbagai kerusakan hutan.
“Saat ini hutan Sumut berada dalam kondisi kritis. Perubahan SK Penunjukan kawasan hutan SK 579 ke SK No. 1076, mengindikasi setidaknya ± 45, 635 Hektar hutan berkurang,” tutupnya. (IP)