JELAJAHNEWS.ID, KARO – Realisasi penyediaan Lahan Usaha Tani (LUT) untuk warga relokasi Tahap III, dampak erupsi Gunung Sinabung, di Desa Siosar, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, terkendala masalah klaim lahan ulayat desa di lokasi LUT .
Hal ini dikemukakan dalam rapat identifikasi dan penyelesaian permasalahan penyiapan lahan usaha tani Relokasi Tahap III, yang dihadiri Bupati Karo Terkelin Brahmana, Pelaksana Asisten I Pemerintahan Davit Trimei Sinulingga, Kabag Ops Polres Tanah karo Kompol F. Munte , Pasi Teritorial Kodim 0205 /TK Kapten JMH Tampubolon, Kepada Dinas Pertanian Metehsa Purba, Plt Kalak BPBD Natanail Perangin-angin, Camat Merek Juspri Nadeak, Kabid LHK Karo Ida Yani, Kepala Desa Partibi Nelson Munte, dan PT Mega Mulya Mas selaku rekanan kontraktor Relokasi Tahap III.
“Supaya tidak ada anarkis di lapangan, kami minta tolong diberhentikan saja dulu (land clearing). Ini bukan mengancam, tapi ini aspirasi masyarakat, harus saya sampaikan,” ujar Kepala Desa Pertibi, Nelson Munte dalam pertemuan, Selasa (03/11/2020) di Kantor Bupati Karo.
Permintaan itu didasari adanya klaim masyarakat bahwa lahan yang diperuntukkan sebagai LUT untuk warga Relokasi Tahap III, merupakan lahan ulayat. Nelson meminta adanya penyelesaian dalam hal tersebut.
“Berkaitan dengan tanah ulayat milik kami, yang diklaim milik hutan negara, kami minta tetap ada penyelesaian,” ujarnya. Pelaksana tugas Kalak BPBD Karo Natanael Perangin-angin mengakui dengan adanya permasalah tersebut, realisasi LUT terkendala.
Dikatakannya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 457 tahun 2017, menyebutkan seluas lahan 480,11 hektare diperuntukkan sebagai keperluan lahan usaha pertanian pengungsi erupsi Gunung Sinabung.
“Jadi, kami sebagai user tidak tahu jika ada masyarakat mengklaim itu adalah tanah ulayat desa,” katanya.
Sementara itu mantan Kepala BPBD Karo Martin Sitepu mengungkapkan, lokasi LUT tersebut perluasan kawasan dari Desa Siosar yang pada 1960 diserahkan masyarakat kepada pemerintah.
“Hanya, dulu batas -batasnya tidak kita ketahui. Namun masyarakat setempat telah menyerahkan kepada pemerintah pada tahun 1960. Sesuai dokumen yang ada, dalam arti kata “involving” dengan melibatkan unsur masyarakat sekitar dan unsur pemerintah saat itu,” katanya.
Martin melanjutkan, pada 1980 baru ada tapal batas yang ditetapkan pemerintah, bahwa tanah ulayat masuk kawasan hutan milik negara.
“Hal ini juga dibuktikan ada tanda tangan bersama unsur desa dan unsur pemerintah daerah,” ujarnya. Martin mengungkapkan, pada tahun 2003-2004 ada penebangan pinus oleh pemerintah dan tidak ada komplain dari masyarakat. “Saat itu, sepengetahuan saya masyarakat tidak ada komplain. Pada hal momen yang tepat untuk mencegah agar kayu tidak ditebang, maaf ini lahan kami. Jadi bukan sekarang diributkan,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, jika ada klaim masyarakat tanah ulayat, perlu dirembukkan. “Perlu dirembukkan ulang jika ada dokumen, surat lagi yang belum terpantau oleh pemerintah. Silakan sampaikan,” tegas Martin.
Mendengar penjelasan duduk persoalan tersebut lahan itu, Bupati Karo Terkelin Brahmana menilai hal ini terjadi karena ada komunikasi yang kurang tepat sehingga muncul permasalah. Bupati meminta Dinas Kehutanan agar menyampaikan persoalan tersebut ke Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara.
“Agar permasalahan ini ada win win solution supaya kita semua satu persepsi,. Sebab SK itu bukan Pemda Karo yang mengeluarkan, tapi pihak Menteri LHK. Jadi semua ada aturan main dan sistem,” pungkas Terkelin. (Jai)