JELAJAHNEWS.ID, JAKARTA – Negara diharuskan melakukan great reset yang mengedepankan keberlanjutan guna memulihkan ekonomi pasca pandemi covid-19.
Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Amalia Adininggar Wisyasari mengatakan, covid-19 memberi pelajaran bahwa pemulihan harus dilaksanakan secara bersama dan inklusif, mengedepankan aspek sosial dan lingkungan yang selaras dengan prinsip pelaksanaan SDGs.
“Great reset itu sudah akan kita mulai lakukan di tahun 2021, dengan tagline pembangunan kita adalah bagaimana kita bisa bersama-sama mempercepat pemulihan ekonomi dan sekaligus secara bersamaan melakukan reformasi sosial,” kata Amalia dalam sesi diskusi Kontribusi Lintas Sektor Wujudkan Masa Depan Indonesia yang Berkelanjutan dalam webinar Unilever dengan tema Sustainability Day, baru-baru ini.
Ia juga menekankan pentingnya prinsip inklusif dan berkelanjutan sudah disadari sejak sebelum pandemi dan sudah tercantum jelas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2020-2024.
“Kami butuh dukungan dan support dari masyarakat, maupun para pebisnis, dan industrialis dan seluruh komponen masyarakat sehingga kita bisa berkerja bersama-sama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan di masa depan,” sebut Amalia.
Saat ini, sambungnya, Indonesia tengah menerapkan strategi menuju pertumbuhan ekonomi hijau, yang dilakukan antara lain dengan mengembangkan rencana aksi strategis nasional dan sub-nasional untuk perubahan iklim.
Selanjutnya sejumlah kabupaten kota juga menyusun strategi yang mengintegrasikan pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan. Berikutnya dilakukan perencanaan penganggaran hijau dan replikasi scaling up menuju program percontohan.
“Kita juga mempunyai beberapa pilot project dan mungkin nanti program-program percontohan ini akan di-scale up dan direplikasi ke tempat lain,” tambahnya.
President of Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Shinta Kamdani mengatakan, pandemi telah menjadi alarm bagi semua pihak termasuk sektor swasta untuk bertransformasi yang selaras dengan SDGs.
“Jadi kami melihat ini sebagai wake up call, dan bagaimana kami sekarang bisa mengakselarsikan. Karena jelas kepentingannya untuk sustainable bisnis,” kata Shinta.
Bagi sektor swasta, katanya, bukan lagi sebuah opsi tapi menjadi kewajiban untuk menjadi bagian dalam pembangunan berkelanjutan bersama pemerintah dan masyarakat.
“Dalam RPJMN swasta dilibatkan, dalam perencanaan maupun action-nya,” kata Shinta.
Tren ini menurutnya juga terjadi secara global. Shinta mengingatkan bahwa untuk mencapai SDGs hingga 2030 dibutuhkan investasi Rp 10.397 triliun.
“Kalau hanya bertumpu pada ABPN tidak mungkin, gap-nya ada sekitar Rp.2.867 triliun untuk bisa mencapai SDGs, kesenjangan pembiayaan ini ada pada infrastruktur, perubahan iklim, keanekaragaman hayati, ketahanan pangan, pendidikan, dan kesehatan,” jelasnya.
Selain itu juga dibutuhkan dukungan non finansial yang bisa diemban oleh sektor swasta.
“Ada tiga fokusnya, pertama dari segi rantai suplai, dibutuhkan satu inovasi dengan suplier, yaitu bagaimana mengembangkan inovasi dalam produksi berkelanjutan,” tambah Shinta.
Dua fokus non finasial lain yang bisa disokong swasta adalah dari sisi manajemen yang mengedepankan SDGs dan ekosistem. (src)