JELAJAHNEWS.ID, JAKARTA – Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK, Karliansyah mengatakan, proporsi luas areal berhutan di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito Kalimantan Selatan terus berkurang.
Dimana untuk proporsi luar areal tidak berhutan 81,8% yang didominasi pertanian lahan kering campur semak 21,4%, sawah 17,8%, dan perkebunan 13%.
“Jika kita perhatikan dari tahun 1990 sampai 2019 maka penurunan luas hutam alam itu sebesar 62,8%. Dan yang paling besar itu terjadi antara 1990 sampai 2000 yaitu sebesar 55,5%,” sebut Karliansyah baru-baru ini.
Lebih lanjut dikatakannya, pada 1990 terdapat total luasan hutan 803.104 hektare (ha) dibandingkan 333.149 ha pada 2019. Sedangkan luasan non-hutan pada 1990 tercatat 1.025.542 ha menjadi 1.495.497 pada 2019.
DAS Barito melewati beberapa provinsi di Kalimantan dengan total luas sekitar 6,2 juta ha dengan 1,8 juta ha atau 29% di area Kalimantan Selatan. Karliansyah mengatakan, lokasi banjir di sepanjang alur DAS Barito dimana kondisi infrastruktur ekologis atau jasa lingkungan pengatur air sudah tidak memadai sehingga tidak mampu menampung air yang masuk.
Menurutnya, banjir juga disebabkan faktor anomali cuaca dengan curah hujan sangat tinggi, dengan curah hujan harian 9-13 Januari 2021 adalah 461 mm atau meningkat dari rata-rata 394 mm pada Januari 2020. Hal itu menyebabkan air masuk Barito 2,08 miliar meter kubik dimana kapasitas sungai kondisi normal 238 juta meter kubik.
Sehingga sistem drainase tidak mampu mengalirkan air dengan volume besar dan daerah banjir berada pada titik pertemuan dua anak sungai yang cekung dan morfologinya meander atau kelokan serta fisiografinya berupa tekuk lereng sehingga terjadi akumulasi air dengan volume besar.
Selain itu, sambungnya, lokasi banjir merupakan daerah datar dan elevasi rendah dan bermuara di laut sehingga merupakan daerah akumulasi air dengan tingkat drainase rendah, beda tinggi hulu dengan hilir sangat besar sehingga suplai air dari hulu dengan energi dan volume yang besar menyebabkan waktu konsentrasi air berlangsung cepat dan menggenangi dataran banjir.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono mengatakan, banjir di Kalimantan Selatan kali ini disebabkan karena 50% lahan di Kalimantan Selatan telah beralih fungsi menjadi tambang batubara dan perkebunan sawit.
“Dari 3,7 juta hektar luas lahan di Kalimantan Selatan, 1,2 juta hektar dikuasai pertambangan, 620 hektar kelapa sawit,” kata Kisworo.
Ia memaparkan, 33% lahan atau 1.219.461,21 hektar sudah dikuasai izin tambang, sementara 17 % lagi atau 620.081,90 hektar sudah dijadikan perkebunan kelapa sawit. Sementara itu, luas hutan sekunder 581.188 hektar dan luas hutan primer hanya 89.169 hektar.
“15 persen atau 234,492,77 hektar IUPHHK-HA (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam) dan 6 persen atau 567.865,51 hektar IUPHHK-HT (Hutan Tanaman). Hutan sekunder hanya 89.169 hektar, hutan primer 581.188 hektar. Sisa lahan hanya 29%,” ungkap Kisworo.
Sementara itu, menurut Sesditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), Hanif Faisol, pengurangan luas hutan itu terjadi karena dari 3,6 juta penduduk Kalsel, sekitar 2,7 juta hidup di daerah DAS Barito di Kalsel.
“Dengan demikian kita bisa melihat bagaimana masifnya kegiatan pertanian dan perkebunan karet dan sawit mungkin sebagian di sana, yang ada di DAS Barito,” tutupnya. (mdc)