JELAJAHNEWS.ID – Terduga mafia tanah SA, EM, dan MA menyerobot lahan dan bangunan milik sejumlah warga di Kecamatan Sareal, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, Selasa (11/10/2022).
Ketiga ini melakukan modus menempati rumah dan lahan kosong untuk dikuasai dan dipersoalkan secara perdata. Sedangkan ketiga terduga mafia tanah ini sudah dilaporkan secara pidana ke Polres Bogor dan telah ditetapkan sebagai tersangka.
Proses pidana di Polres Bogor tampaknya tidak berjalan mulus, lantaran kasus mereka justru digiring ke ranah perdata dan bukan pidana.
Alhasil para korban pun melakukan perlawanan dan upaya hukum untuk menuntut hak kepemilikannya yang dikuasai pihak tertentu dengan cara-cara yang dianggap penyerobotan.
Adapun warga yang menjadi korban mafia tanah dimaksud adalah Lany Mulyati, Tjoe Hok Bwee, dan Effendy Djaja. Korban lain di lokasi yang berdekatan dengan mereka bertiga adalah Johanes Bachtiar Tedjanegara.
Kasus tanah dan rumah milik Johanes Bachtiar Tedjanegara ini agak berbeda dengan yang dialami Lany Mulyati, Tjoe Hok Bwee, dan Effendy Djaja tetapi modusnya hampir mirip yaitu menempati lahan dan bangunan kosong secara ilegal dan bertahan dengan tameng hukum perdata.
Fahmi Assegaf, kuasa hukum korban mengatakan, pihaknya telah membeli tanah dan rumah milik almarhum mantan Kapolres Bogor Agus Saleh. Tetapi belakangan seorang warga bernama Mutiara tiba-tiba melakukan dugaan penyerobotan dengan dalih ada putusan pengadilan yang menyatakan dirinya sebagai salah satu ahli waris lahan seluas 44 hektar yang di dalamnya ada rumah mantan Kapolres yang sudah dibeli Yohanes Bachtiar Tedjanegara.
Fahmi Assegaf mengungkap, tanah dan bangunan yang di Jalan Dadali No 08-A RT 05/ RW 05 Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor, Jawa Barat telah dibeli kliennya, Yohanes Bachtiar Tedjanegara pada tahun 2001 dengan bukti Sertifikat Hak Milik (SHM) nomor 78, dengan seluas 948 meter persegi.
Hal itu disampaikan Fahmi Assegaf dalam sebuah diskusi bertajuk ‘Misteri Sindikat Mafia Tanah di Bogor’ yang digelar di 18 Office Park Building Lantai 12, Jakarta Selatan Senin (10/10/2022) kemarin.
Fahmi Assegaf menjelaskan, kliennya Johannes Bachtiar Tedjanegara merupakan korban penyerobotan lahan dan bangunan yang telah menang perkara perdatanya di PN Bogor tingkat I.
“Namun pihak lawan menggunakan kasasi yang diduga tidak menandatangani untuk permohonan banding,” ujarnya.
Ia membeberkan, usai dibeli dari Agus Sholeh, kliennya tinggal di Tangerang Selatan (Tangsel) dan rumah yang dibeli itu dibiarkan dalam keadaan kosong dan terkunci. Kemudian ada warga bernama Bambang Sujarwadi meminta ijin menempati rumah tersebut untuk membuka usaha.
Lebih lanjut, Fahmi Assegaf menyebut setelah rumah itu hendak dikosongkan, orang yang menempati rumah, bersih keras tidak mau keluar dari rumah itu.
“Pihak kami sudah berusaha maksimal, sudah negosiasi untuk mengeluarkan beliau secara baik-baik. Namun yang bersangkutan tetap bertahan,” katanya.
Selama kurang lebih 7 tahun Bambang Sujarwadi menempati lahan dan bangunan dan tidak ada itikad baik untuk keluar.
“Dengan sangat terpaksa klien kami melaporkannya ke Polresta Bogor dan BS sudah ditetapkan sebagai tersangka dengan dikenakan pasal 385 KUH Pidana. Berkas sudah ditetapkan P19 sampai sejauh ini,” ucapnya.
Lahan dan bangunan yang dibeli Yohanes Bachtiar Tedjanegara dari Agus Shaleh berdasarkan Akta Jual Beli No 10 dibuat oleh PPAT Nixon Rudy Dewa Hasibuan SH hendak dilakukan pengosongan sejak tanggal 30 September 2022 lalu, namun belum ada tanda-tanda Bambang Sujarwadi akan keluar dari rumah tersebut.
Tanah dan bangunan Sertifikat Hak Milik No.78/ Tanah Sereal berada di Jalan Dadali No 8A, RT 05 RW 05, Kelurahan Tanah Sareal, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor dengan luas 948 meter persegi, kini masih ditempati BS dan keluarganya meski dirinya sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Assegaf membeberkan, salah satu orang yang menempati rumah itu inisial Mutiara, malah mengaku sebagai ahli waris.
“Dia mengaku memiliki kuasa di situ karena sedang berproses perkara di PN nomor 134/2021 Bogor, dan perkara perdatanya sudah putus dan perdata diterima dan dengan alasan objek tanah ada 44 hektar, berada di kawasan Tanah Sareal Kota Bogor tersebut,” urainya.
Assegaf merasa ada kejanggalan, soalnya pihak Mutiara mengklaim tanah yang diwarisinya ada 44 hektar yang di dalamnya ada tanah dan bangunan milik Yohanes Bachtiar Tedjanegara yang sebelumnya dibeli dari mantan Kapolres.
“Yang jadi pertanyaan kami adalah kenapa tanah dan bangunan kita yang dirampok dan dipersoalkan. Padahal, ada 44 hektar tanah mereka termasuk tanah Pemda Kota Bogor dan lain-lain,” kata Fahmi Assegaf.
Apalagi mereka, kata Assegaf mengakui berdasarkan putusan yang objek tanah bukan di daerah Kelurahan Tanah Sareal.
Assegaf justru menjadi curiga, praktek yang dilakukan BS Cs adalah praktek ‘mafia tanah’ yang menyasar rumah kosong untuk ditempati secara ilegal, agar setelah dikuasasi bisa dinegosiasikan.
“Nanti timbul negosiasi untuk bicara rupiah?” celetuk Assegaf.
Pegangan mereka pun, urai Assegaf hanya berdasarkan putusan pada tahun kisaran 1980. “Baik itu putusan pengadilan, MA tidak ada yang menerangkan tanah itu berlokasi di Jalan Dadali No 08-A, namun mereka klaim. Itu menyangkut ahli waris dan bukan kepemilikan tanah dengan seluas 44 hektar,” ucapnya.
Sedangkan luas tanah milik kliennya, menurutnya seluas 948 meter persegi. “Lalu, mengapa tanah dan bangunan di sebelahnya tidak mereka klaim. Maka itulah saya menuntut perhatian Pemerintah Republik Indonesia karena hal ini masuk kategori mafia tanah,” ucapnya.
Ia menegaskan bahwa mafia tanah tidak boleh menang. Khususnya, mafia tanah di Tanah Sareal yang mencari-cari penghuninya di rumah yang tidak ditempati.
Dia juga menyarakan pemerintah membentuk satgas untuk pengawasan ketat terhadap mafia tanah.
Tanah dan Bangunan Sudah di Police Line
Nurma Sadikin, kuasa hukum Lany Mulyati, Tjoe Hok Bwee, dan Effendy Djaja mengatakan, kasus penyerobotan tanah bangunan seluas kurang lebih 4.267 M² saat ini sudah dilaporkan pidana ke polisi, dan pelaku sudah dijadikan tersangka sehingga lokasi tanah sudah di ‘Police Line’.
Numa Sadikin mengungkapkan, kliennya memiliki bukti SHM, dan ada juga bukti rekaman CCTV di mana terjadi pengrusakan bangunan milik kliennya.
Sebagai bukti kepemilikan, lanjut Nurma Sadikin, kliennya memiliki bukti penerimaan ganti rugi lahan atas proyek pelebaran jalan yang diterima dari pihak BPN tahun 2008.
“Tanah yang klien saya miliki teruji kebenarannya. Dan kami sudah dua kali rapat koordinasi dengan pihak Kemenkumham,” kata Nurma Sadikin.
Ia menambahkan, pada tanggal 21 Juli 2022 lalu kliennya telah mengikuti rapat koordinasi ke-2, yang dihadiri Asdep I, Deputi V/Kamtibmas Kemenkopolhukam, juga dihadiri BPN Kota Bogor, Polres Kota Bogor, Polda Jabar, Satgas Mafia Tanah Mabes Polri dan Wasidik Mabes Polri.
Turut hadir dalam diskusi, Niko Mustamu dari perwakilan Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) salah satu pendukung kegiatan diskusi dan konferensi pers tentang mafia tanah, dan anak dari Johanes Bachtiar Tedjanegara bernama Rivan, serta para korban mafia tanah. (JN-BTM).