JAKARTA – Dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir, harga tiket pesawat terbang terbilang tinggi atau lebih mahal dari rata-rata biasanya.
Akibatnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Republik Indonesia melakukan investigasi (penelitian) inisiatif guna mengurai permasalahan itu.
Hasilnya, KPPU mendapatkan ada beberapa maskapai yang dikatakan jika penentuan harga tiket pesawat penumpang atau jasa angkutan niaga berjadwal kelas ekonomi penerbangan dalam negeri di wilayah Indonesia, telah dilakukan secara sengaja.
Oleh karenanya, KPPU pun menilai bahwa struktur pasar dalam industri angkutan udara niaga berjadwal adalah oligopoli ketat (tight oligopoly). Hal ini mengingat bahwa kegiatan usaha angkutan udara niaga berjadwal di Indonesia terbagi dalam 3 (tiga) group, yaitu group Garuda (Terlapor I dan Terlapor II), group Sriwijaya (Terlapor III dan Terlapor IV), dan group Lion (Terlapor V, Terlapor VI, dan Terlapor VII).
Sehingga seluruh terlapor dalam perkara ini menguasai lebih dari 95% (sembilan puluh lima persen) pangsa pasar. Sesuai pers rilis KPPU RI, dalam sidang yang terbuka untuk umum, pada Selasa (23/6/2020) lalu, KPPU memutuskan bahwa seluruh terlapor secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran atas Pasal 5 dalam jasa angkutan udara tersebut.
Maka, dalam persidangan dikuatkan dalam Putusan atas Perkara Nomor 15/KPPU-I/2019 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 terkait Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri yang melibatkan 7 (tujuh) maskapai udara nasional.
KPPU pun menjatuhkan sanksi berupa perintah kepada para terlapor untuk melakukan pemberitahuan secara tertulis kepada KPPU setiap kebijakan mereka yang akan berpengaruh terhadap peta persaingan usaha, harga tiket yang dibayar oleh konsumen, dan masyarakat sebelum kebijakan tersebut dilakukan.
Adapun tujuh maskapai udara nasional terlapor yang dimaksud yakni PT Garuda Indonesia (Terlapor I), PT Citilink Indonesia (Terlapor II), PT Sriwijaya Air (Terlapor III), PT NAM Air (Terlapor IV), PT Batik Air (Terlapor V), PT Lion Mentari (Terlapor VI), dan PT Wings Abadi (Terlapor VII).
Berdasarkan persidangan, Majelis Komisi menilai telah terdapat concerted action atau parallelism para terlapor, sehingga telah terjadi kesepakatan antar para pelaku usaha (meeting of minds) dalam bentuk kesepakatan untuk meniadakan diskon atau membuat keseragaman diskon, dan kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah di pasar. Hal ini mengakibatkan terbatasnya pasokan dan harga tinggi pada layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi di wilayah Indonesia. Concerted action atau parallelism tersebut dilakukan melalui pengurangan subclass dengan harga murah oleh para Terlapor melalui kesepakatan tidak tertulis antar para pelaku usaha (meeting of minds) dan telah menyebabkan kenaikan harga serta mahalnya harga tiket yang dibayarkan konsumen. (gat)