JELAJAHNEWS.ID, JAKARTA – Staf Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Andi Rezaldi menyebutkan bahwa revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) harus segera dilakukan.
Ia berharap, rencana revisi tersebut tidak hanya menjadi wacana demi menyelamatkan nama baik pemerintah semata.
“Rencana ini jangan sampai menjadi wacana semata dan hanya sebatas kepentingan menyelamatkan citra pemerintah yang buruk karena kerap memidanakan secara paksa orang-orang yang kritis,” sebut Andi Rezaldi, kemarin.
Andi pun mendesak agar Presiden Joko Widodo dapat mengevaluasi secara menyeluruh implementasi UU ITE oleh aparat penegak hukum. Dikatakannya, sembari menyiapkan revisi UU ITE, Kapolri sebaiknya memberikan imbauan kepada internal kepolisian untuk tidak menggunakan pasal karet UU ITE.
“Sebaiknya Kapolri mengimbau internal polri untuk menahan diri menggunakan pasal karet UU ITE agar tidak kembali memakan korban,” tuturnya.
KontraS pun memberikan beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian pemerintah jika serius ingin mengubah UU ITE. Pertama, menghapus seluruh pasal yang multitafsir dan berpotensi over kriminalisasi dalam UU ITE.
Seperti Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3) Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 29 UU ITE. KontraS menilai pasal-pasal karet tersebut menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% dengan 744 perkara dengan tingkat pemenjaraan tinggi mencapai 88%.
“Seluruh pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE itu sudah seharusnya dihapus,” kata Andi.
Kedua adalah proses penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam revisi UU ITE harus kembali diberlakukan sesuai KUHP atas izin pengadilan.
“Revisi UU ITE harus mengembalikan hal baik yang pernah dirumuskan oleh UU ITE tahun 2008 bahwa mekanisme upaya paksa harus dengan izin dalam bentuk penetapan dari pengadilan,” ungkapnya.
Kemudian pengaturan mengenai blocking dan filtering konten internet juga harus direvisi. KontraS menilai kewenangan pemerintah saat ini terlalu besar untuk melakukan filtering konten internet di media sosial.
“Kewenangan mengenai pengaturan blocking dan filtering konten harus diatur secara tegas mekanismenya sesuai dengan due process of law. Terlalu besarnya kewenangan pemerintah eksekutif melakukan blocking dan filtering konten internet perlu ditinjau ulang dengan memasukan mekanisme kontrol dan pengawasan sebelum dan setelah melaksanakan pemutusan,” tuturnya. (cni)