JELAJAHNEWS.ID – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengapresiasi kinerja KPK yang berhasil membongkar mafia peradilan di Mahkamah Agung terkait suap pengurusan perkara. KPK turut mengamankan uang sebesar SGD 205 ribu atau setara Rp 2,1 miliar.
KPK telah menetapkan 10 tersangka, yakni SD (Sudrajad Dimyati) Hakim Agung Mahkamah Agung, ETP (Elly Tri Pangestu) Hakim Yustisial/Panitera Pengganti Mahkamah Agung, DY (Desy Yustria) PNS pada Kepaniteraan Mahkamah Agung, MH (Muhajir Habibie) PNS pada Kepaniteraan Mahkamah Agung, RD (Redi) PNS Mahkamah Agung, AB (Albasri) PNS Mahkamah Agung, YP (Yosep Parera) Pengacara, ES (Eko Suparno) Pengacara, HT (Heryanto Tanaka) Swasta atau Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana, IDKS (Ivan Dwi Kusuma Sujanto) Swasta atau Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana.
“Di satu sisi, kejadian ini sangat memprihatinkan karena menunjukan bahwa mafia peradilan masih terdapat di institusi sekelas Mahkamah Agung, bahkan sampai melibatkan langsung seorang Hakim Agung. Di sisi lain, kita patut apresiasi kinerja KPK yang berhasil membongkar kasus ini. Menjadi tamparan keras bagi institusi Mahkamah Agung maupun bagi aparat penegak hukum lainnya agar tidak lagi main-main dengan hukum,” ujar Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu, Jumat (23/9/2022).
Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini mendorong agar peradilan yang dijalankan terhadap para tersangka itu bisa tetap berjalan dengan mengedepankan asas profesionalitas. Siapapun yang bersalah di mata hukum harus mendapat ganjaran yang setimpal.
“Penegakan hukum harus dilakukan dengan transparan, tidak boleh ada yang ditutupi. Jika nantinya terbukti bersalah, para tersangka harus mendapat ganjaran yang setimpal di hadapan hukum. Sehingga bisa memberikan efek jera khususnya kepada para penegak hukum lainnya, agar tidak ada yang berani main-main dengan hukum,” ujar Ketua DPR RI ke-20.
Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menambahkan, kejadian ini menjadi alarm peringatan bagi para penegak hukum, khususnya di Mahkamah Agung, untuk melakukan berbagai pembenahan.
Sebagaimana tergambar berdasarkan indeks supremasi hukum (rule of law index) yang dirilis World Justice Project tahun 2020, Indonesia menduduki peringkat 59 dari 128 negara. Salah satu aspek yang diukur adalah penegakan hukum dan proses peradilan baik perdata maupun pidana.
“Merujuk hasil survei yang diterbitkan Indonesia Political Opinion pada Oktober 2020, angka ketidakpuasan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia mencapai 64 persen. Menunjukan persoalan penegakan hukum di Indonesia masih menyisakan berbagai persoalan,” kata Wakil Ketua Umum FKPPI ini.
Ditambah dengan adanya kasus ini, semakin mencoreng wajah penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah dan aparat penegak hukum punya pekerjaan rumah yang berat untuk meningkatkan kepercayaan rakyat. Bukan dengan kata-kata melainkan dengan tindakan nyata. (JN/r*)