DELISERDANG – Gubernur Sumatera Utara (Gubsu), Edy Rahmayadi kembali mengingatkan pada Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Sumut untuk segera menyelesaikan regulasi persoalan tanah yang ada di Sumut.
Sehingga berbagai persoalan tanah di daerah ini juga dapat dituntaskan segera. Hal ini disampaikannya saat membuka Rapat Koordinasi (Rakor) tentang impelementasi penyelenggaraan GTRA dalam mendukung pengembangan potensi perkebunan, pariwisata dan transmigrasi Sumut yang diselenggarakan Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumut secara virtual di Kediaman Pribadi Gubernur, Rabu (26/8/2020).
Turut serta dalam rakor tersebut Kepala Kanwil BPN Sumut, Dadang Suhendi, Dirjen Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN, Andi Tenrisau, Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumut, Dahler Lubis, dan Kepala Biro Pemerintahan Setdaprovsu, Afifi Lubis.
“Tahun yang lalu, saya sudah sampaikan dalam rapat koordinasi seperti ini, tetapi pelaksanaannya sampai saat ini bagaimana? Selesai koordinasi berjalan seperti biasa dan seolah-olah tidak ada kepastian, tidak ada manfaatnya sama sekali,” ucap Edy.
Edy menyatakan, ada tiga poin yang harus diselesaikan dalam reformasi agraria ini, yakni ruang peruntukan, manfaat atas tanah dan kepastian tanah itu sendiri. Karena itu, GTRA Sumut diminta untuk segera menyelesaikan secara konkret ruang peruntukan tanah, siapa yang memiliki atau meminjam tanah tersebut. Reformasi merupakan kembali pada regulasi untuk menyelesaikan persoalan ini.
Kemudian manfaat atas tanah tersebut, Edy meminta, GTRA Sumut untuk mengatur sesuai undang-undang yang berlaku, serta memberikan kepastian dalam peruntukan tanah tersebut yang menitikberatkan pada kepentingan rakyat Sumut.
“Mohon dengan segera, kepastian yang saya sampaikan tadi, siapa berbuat apa, untuk mengembalikan status tanah ini,” katanya.
Kepala Kanwil BPN Sumut, Dadang Suhendi memaparkan dari survei di lapangan GTRA 2019, tanah transmigrasi yang belum bersertifikat di Sumut yakni terletak di Desa Namotualang, Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deliserdang dengan luas 0,8 Ha. Tidak bisa disertifikasi karena terkendala surat perolehan tanah lokasi hilang.
“Transmigrasi berasal dari pasca kerusuhan yang terjadi di Provinsi Aceh pada tahun 2002 sampai saat ini tanah belum disertifikasi. Ditempati 60 kepala keluarga (KK), di mana tiap KK mendapat tanah dengan ukuran 10×10 meter,” katanya.
Kemudian pelepasan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) berdasarkan surat dari Dirjen Penataan Agraria No 94/500/VII/2020 tangal 27 Juli 2020, total luas tanah yang berpotensi TORA yang berasal dari pelepasan kawasan hutan seluas 18.035.179 Ha yang tersebar di 16 kabupaten/kota di Sumut.
Sementara perkebunan kelapa sawit di Sumut mencapai 1.256.808 Ha dengan rincian 505.882,84 Ha (40%) dikelola oleh perusahan perkebunan swasta, 321.663,85 Ha (26%) dikelola perusahaan perkebunan negara dan 429.261,31 Ha (34%) dikelola perkebunan sawit rakyat. Kendala yang dihadapi petani sawit umumnya berkaitan dengan tumpang tindih lokasi kawasan hutan dan besarnya biaya sertifikat.
“GTRA Sumut telah mengambil peran secara bersama-sama melalui rapat pembahasan dengan OPD terkait, dengan menggandeng sebuah lembaga pendamping yakni Kompasia Enviro. Kompasia Enviro selain mendampingi dalam hal budidaya juga memprakarsai pemetaan spasial partisipatif untuk memperoleh data awal,” katanya.
Sementara itu, Dirjen Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN Andi Tenrisau dalam arahannya meminta GTRA Sumut untuk segera merencanakan aksi percepatan reforma agraria dengan penguatan lembaga GTRA denga berkordinasi dengan stakholder terkait.
“Mari berkolaborasi dengan stakholder yang ada yakni masyarakat, pemerintah pusat dan daerah, penegak hukum dan lainnya,” katanya. (IP)