JELAJAHNEWS.ID, MEDAN – Tim Pengkajian Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) RI menggelar ‘Pengaruh Politik Identitas Terhadap Demokrasi di Indonesia’, digelar di Hotel Radisson Medan, Jalan H Adam Malik Medan, Rabu (17/3/2021).
Diskusi tersebut membahas Sumatera Utara (Sumut) karena memiliki karakteristik kebhinekaan yang membedakannya dengan daerah lain.
Gelar diskusi tersebut dihadiri, Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo dan Gubernur Sumut Letjen TNI (Purn) Edy Rahmayadi. Bersama dengan para akademisi di Sumut, seperti Dr Shohibul Ansor Siregar selaku moderator, Prof Hasan Bakti Nasution mewakili FKUB, Dr Warjio selaku pakar sosial dan politik, Prof Reni Mayerni (Deputi Bidang Pengkajian Strategik Lemhannas RI), serta sejumlah pejabat.
Gubernur Lemhannas RI Agus Widjojo menyebutkan, kehadiran lembaga ini di Sumut dalam konteks kajian jangka panjang tentang politik identitas dan dampaknya terhadap demokrasi.
Medan (Sumut) dipilih bersama dengan beberapa daerah lainnya, karena ada beberapa karakteristik yang bisa membedakannya dengan daerah lain dan itu direspons cukup positif.
“Reputasi Sumut yang bisa menekan konflik ini pada tingkat maksimal, artinya apapun pilihan rakyat, tidak menimbulkan korban. Ini mungkin yang perlu dijadikan sumbangan positif dan perlu dijaga, dipelihara dan ditingkatkan untuk dijadikan sebagai model (contoh) bagi daerah lain di Indonesia,” ujar Agus Widjojo.
Selain itu, tambah Agus Widjojo, Medan bisa dikatakan sebagai daerah yang punya masyarakat bercirikan kebhinekaan. Tentunya hal itu memberikan tantangan tentang pengelolaannya agar tidak lepas kendali.
Upaya kajian ini, pihaknya meminta masukan dari para pakar yang memahami bagaimana kondisi sosial politik di Sumut. Agar politik identitas tidak menjurus kepada penekanan perbedaan, tetapi lebih kepada upaya mencari persamaan dari perbedaan tersebut. Sebab, menurutnya, dalam masyarakat yang homogen seperti Jepang dan Korea, tetap bisa dikelompokkan dengan identitas tertentu.
“Di sini dikaitkan dengan demokrasi. Yakni praktek-praktek identitas sebagai sumber daya dan sarana politik dalam rangka mempengaruhi kebijakan dan kompetisi merebut kekuasaan dengan cara konstitusional dalam bentuk pemilu. Yang dapat mengingkari prinsip-prinsip yang diamanatkan oleh demokrasi, yaitu membatasi kebebasan untuk memilih,” jelasnya.
Bahwa identitas dimaksud dalam kajian politik ini, lanjut Agus, adalah keniscayaan yang bisa mengarah kepada negatif atau positif. Untuk demokrasi, jika politik identitas kemudian membatasi kebebasan memilih, maka ada persoalan yang membuat terjadinya krisis (identitas). Muaranya adalah polarisasi di masyarakat.
“Bila dibiarkan dalam jangka panjang, ini akan membentuk sebuah karakteristik permanen kepada bangsa yang akan menghalangi pembangunan karakter kebangsaan kita. Sebab amanat pendiri bangsa, Negara ini dibentuk berdasarkan kesepakatan, bukan komposisi mayoritas-minoritas (identitas),” tambah Agus.
Gubernur Sumut Edy Rahmayadi pun mengakui, bahwa provinsi ini dihuni oleh beragam etnis, suku dan agama. Karena itu, dapat dijadikan masukan dan cocok sebagai contoh bagi daerah lain di Indonesia.
Pengalaman daerah ini menghadapi berbagai pemilihan baik Pileg, Pilpres, Pilgub, hingga Pilkada, perlu diwaspadai di masa mendatang, agar politik identitas yang bisa menyebabkan polarisasi di masyarakat, mengarah kepada penajaman perbedaan yang mengkhawatirkan.
“Memang kita masih banyak pemilih yang rasional, tetapi kita tetap harus waspadai kedepan seperti apa. Jadi kondisi ini seperti itu (polarisasi) tidak bisa dibiarkan,” katanya.
Bagi Edy, sistem demokrasi yang berlaku di sebuah negara bergantung pada kebutuhan atau penyesuaian terhadap perkembangan sosial politik yang berjalan.
Beberapa bentuk di antaranya seperti demokrasi langsung, tidak langsung (representatif), parlementer, presidensial, otorier, partisipatif, demokrasi Islam, dan sosial. Berbeda negara, berbeda bentuk demokrasinya.
“Cocokkan kita dengan one man one vote? Kenapa tidak?. Demokrasi kan ada bermacam-macam. Apakah demokrasi jelek? Tidak. Tergantung siapa yang melakukannya,” jelas Edy Rahmayadi.
Karenanya Edy meminta agar para narasumber dan penanggap dalam diskusi tersebut untuk membuka diri dalam berdiskusi melihat seperti apa kondisi demokrasi dan kaitannya dengan politik identitas di Sumut. Agar gambaran ini bisa disampaikan dan menjadi catatan penting bagaimana formulasi jangka panjang untuk mengelola iklim demokrasi, terutama dalam hal pengambilan kebijakan sosial politik oleh penyelenggara negara.
“Saya minta silakan disampaikan secara terbuka di dalam forum ini. Karena ini kan ranah akademis, jadi jangan dibatasi. Namanya juga kajian, harus menyeluruh dan dinamis,” harapnya.(Jai)