JAKARTA – Manajemen PT Pertamina (Persero) buka suara mengenai kerugian yang menjerat perusahaan.
Sebagaimana diketahui, pada semester I-2020 ini Pertamina membukukan rugi US$.767,92 juta atau setara Rp.11,13 triliun (kurs Rp.14.500/US$). Direktur Keuangan Pertamina, Emma Sri Martini membenarkan soal kerugian tersebut. Dikatakannya, ada tiga faktor yang menyebabkan kerugian Pertamina menyentuh angka Rp.11 triliun.
“Izin menjelaskan, betul pak, posisi first half 2020 mencatatkan rugi, rugi kurang lebih US$.707 juta. Itu penyebab utamanya tadi disampaikan Pak Menteri betul sekali ada 3, kalau kita menyebutnya triple shock,” kata Emma dalam rapat di Komisi VII DPR Jakarta, baru-baru ini.
Faktor pertama, jelasnya, karena menurunnya permintaan. Emm pun mengatakan, kondisi kali ini berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya di mana biasanya Pertamina dihadapkan pada tekanan harga minyak mentah dan nilai tukar.
“Sekarang demand yang berdampak signifikan pada revenue kita, itu pertama. Kondisi kali ini bahkan lebih berat dari kondisi financial krisis,” terangnya.
Faktor kedua ialah nilai tukar atau kurs. Emma mengatakan, secara fundamental keuangan Pertamina dibukukan dalam dolar Amerika Serikat (US$).
“Ini menimbulkan komposisi rugi kurang lebih 30-40% dari kerugian kita,” terangnya.
Kemudian faktor ketiga, lanjut Emma, ialah melemahnya harga minyak dunia. Hal ini berpengaruh pada sektor hulu yang berkontribusi besar pada penerimaan Pertamina.
“Yang ketiga ini terkait dengan crude, dengan melemahnya crude price di second quarter menyentuh angka US$19-20 pak dibandingkan posisi Desember US$ 63 per barel kita sangat terdampak sekali pada margin di hulu,” terangnya.
“Padahal margin di hulu penyumbang kontributor ebitda terbesar 80%. Dari ini jadi 3 faktor sangat siginifikan terdampak,” tambahnya. (dtc)