JELAJAHNEWS.ID, MEDAN – Indonesia harus mengembangkan fungsi dialektika dengan pembukaan diskursus publik untuk mencapai kebebasan pers. Hal itu disebabkan karena kekayaan yang dimiliki Indonesia bukan pada keseragaman, melainkan pada keragaman.
Sebagaimana hal tersebut disampaikan Ketua Dewan Pers Indonesia, Muhammad Nuh ketika menjadi salah seorang narasumber pada diskusi Catatan Akhir Tahun: ‘Pandemi Covid 19 dan Kebebasan Pers’ melalui zoom, Jumat (11/12/2020).
“Kita mempunyai keragaman etnis dan segala macam yang lain. Maka konsekuensi-nya adalah, kita juga mempunyai keberagaman pikiran. Oleh karena itu, tidak boleh ada narasi tunggal,” sebut Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ke-26 itu.
Oleh karenanya, di masa pandemi covid-19 ini, ia pun mengajak seluruh media massa, baik media cetak maupun elektronik agar sama-sama menumbuhkan kembali kesadaran dan disiplin protokol kesehatan (prokes) kepada masyarakat karena pandemi covid-19 belum berakhir. Diharapkannya, pers bisa menyuguhkan berita secara tepat dan menjadi penengah agar publik bisa menilai informasi yang baik dan buruk.
“Peristiwa saat ini, mana yang benar dan mana yang salah, pers harus menjelaskan duduk perkaranya seperti apa. Yang kita harapkan, media bisa menjadi penengah saat situasi infodemic ini agar publik bisa menilai mana yang baik dan yang buruk,” terangnya.
Dikatakannya bahwa kebebasan pers bukan sesuatu yang diberikan secara tiba-tiba. Akan tetapi, kebebasan pers harus diperjuangkan dan dipertanggungjawabkan agar memiliki makna bagi tujuan bangsa.
“Kemerdekaan pers tidak bisa dilakukan sendirian, harus dilakukan bersama dengan pemangku pemerintahan,” ungkap Nuh.
Sementara itu, Duta Besar Inggris untuk Indonesia Owen Jenkins menyinggung soal pukulan ekonomi akibat pandemi yang membuat banyak perusahaan media ditutup dan mengurangi liputannya. Dimana hal tersebut membuat dampak tersendiri terhadap para jurnalis dengan terkena pemutusan hubungan kerja yang dikarenakan menurunannya pendapatan perusahaan media.
Terkait kondisi itu, kata Jenkins, Inggris mengambil lima langkah strategis dalam kerangka prioritas utama negara itu untuk mewujudkan kebebasan pers dan pelindungan jurnalis, salah satunya dengan mengembangkan Rencana Aksi Nasional Inggris untuk Keselamatan Jurnalis.
Dijelaskannya bahwa pemerintah Inggris bekerja sama dengan Unesco dalam menangani isu global, yakni pandemi Covid-19 di dunia. Pihaknya memberikan jaminan kebebasan jurnalis dan media massa dalam berekspresi menyajikan informasi yang sebenar-benarnya terkait pandemi Covid-19.
“Kekebasan pers bukan hanya saja komponen demokrasi. Kami melindungi jurnalis bekerja sama dengan Unesco, seperti memberikan bantuan hukum bagi jurnalis yang membutuhkan,” ujarnya.
Jenkins pun mengatakan bahwa kebebasan pers dalam konteks global semakin mendapatkan serangan. Dia pun mengungkapkan jumlah jurnalis yang meninggal dunia dalam beberapa tahun terakhir.
“Jika berbicara mengenai kebebasan pers secara global, isu ini semakin mendapatkan serangan. Berdasarkan catatan UNESCO, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, hampir 900 jurnalis telah tewas dan sembilan dari sepuluh pembunuhan terhadap jurnalis, pelakunya tidak dihukum. Ini adalah statistik yang mengerikan,” ujarnya.
Oleh karenanya, kata Jenkins, saat ini banyak negara yang menggunakan peraturan lebih ketat untuk membungkam kebebasan berekspresi. Menurutnya, kebebasan pers bukan saja sekadar komponen esensial dari demokrasi yang berfungsi dengan baik.
“Ini adalah dasar untuk kemakmuran ekonomi, dan pembangunan sosial. Ketika kita bisa berdebat gagasan tanpa takut akan adanya ancaman, kita bisa melihat kreativitas dan keaslian dari seluruh masyarakat,” papar Jenkins yang juga mulai pasif berbahasa Indonesia. (IP)