SUKABUMI – Setukpa Lemdiklat Polri menggelar ceramah pembekalan dari Tim Direktorat Pencegahan Densus 88 Anti Teror Mabes Polri, di Lapangan Soetadi Ronodipuro dan diikuti secara virtual oleh seluruh jajaran Satuan Pendidikan Penyelenggara SIP Angkatan 51, Rabu (30/3/2022).
Diikuti siswa Sekolah Inspektur Polsi (SIP) Angkatan 51 tahun 2022, pembekalan tersebut mengangkat tema “Sinergitas Pencegahan Faham Radikalisme dan Terorisme Melalui Pendekatan Berbasis Masyarakat Multikultural/Majemuk”.
Dalam sambutannnya, Kasetukpa Lemdiklat Polri Brigjen Pol Mardiaz Kusin Dwihananto menyampaikan, acara ini sengaja disajikan kepada para siswa diawal pendidikan agar para siswa SIP Angkatan 51 dapat memahami dan membentengi diri dari faham-faham radikalisme dan terorisme.
“Juga sebagai terobosan bagi Lembaga Pendidikan Polri dalam rangka menanamkan rasa cinta tanah air dan meningkatkan pemahaman wawasan kebangsaan untuk bekal para siswa dilapangan tugas terutama tentang ancaman bahaya faham radikalisme dan terorisme,” terang Mardiaz .
Pembekalan kali ini menghadirkan tiga penceramah yaitu, Kasubdit Kontra Radikal Densus 88 Anti Teror Polri Kombes Bogiek Sugiarto, Staf Khusus Kementerian Agama Republik Indonesia Bidang Toleransi, Terorisme, Radikalisme dan Pesantren Habib Nuruzzaman, MAg dan Ustadz Sofyan Tsauri yang merupakan mantan anggota Polri dan juga mantan anggota teroris yang kini sering berperan aktif dalam ceramah-ceramah untuk mencegah berkembangnya faham intoleran, radikalisme dan terorisme di masyarakat.
Dalam ceramahnya, Kombes Bogiek mengangkat judul peran Polri dalam pencegahan radikalisme, yang menyajikan fakta kejadian teror dan aksi radikal yang terjadi di Indonesia, serta fenomena internal dalam tubuh Polri yang telah termonitor oleh Densus 88 AT Polri.
Bogiek menyatakan bahwa radikalisme dan terorisme tidak merujuk atau didominasi oleh satu agama, meskipun saat ini terjadi aksi radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan salah satu agama.
Dikatakannya, terorisme tidak tunggal atau serta merta muncul begitu saja, melainkan ada pentahapan diantaranya yang menjadi akar permasalahan mendasar yaitu sikap intoleransi yang dapat diartikan sebagai sikap tidak tenggang rasa atau kebalikan dari toleransi atas apa yang berbeda dengan pemahaman atau pendiriannya.
Hal ini dapat terjadi akibat sisi pemahaman yang sempit tentang fanatisme agama dan rendahnya pengetahuan tentang keberagaman, mengedepankan norma agama tanpa melibatkan norma sosial, serta banyaknya penyebaran isu-isu kebencian di media.
Kemudian berkembang dari sikap intoleran menjadi radikal yang mana radikalisme ini dianggap sebagai suatu ajaran dan doktrin atau praktik faham yang berbahaya, serta dipahami sebagai aliran yang menghendaki pergantian dengan cara yang keras dan cepat.
Hal ini dapat terpapar dengan beberapa penyebabnya diantaranya sifat fanatik terhadap salah satu tokoh agama tertentu, penggunaan isu agama dalam kepentingan politik, dengan karakter sikap yang intoleran, fanatik, ekslusif serta revolusioner atau cenderung mendukung perubahan dengan menggunakan kekerasan demi mencapai tujuan.
Kemudian dari sikap intoleran serta radikal tersebut sebagai buahnya adalah teroris atau pelaku teror dengan faham terorisme yang dapat diartikan perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban bersifat massal dan atau menimbulkan kerusakan, kehancuran terhadap objek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik dengan motif ideologi, politik atau gangguan kemanan.
Hal ini disebabkan karena selalu membenarkan keyakinannya dan menolak keyakinan pihak lain, memiliki pandangan bahwa kepentingan agama diatas kepentingan bernegara, mengkafirkan pemahaman yang lain serta berkeinginan mendirikan negara sesuai dengan agama yang dianutnya.
“Dalam perkembangannya penyebaran radikalisme dan terorisme dapat terjadi melalui kajian-kajian, hubungan kerabat, perkawinan, buku dan tulisan, Ormas, Pondok pesantren, sekolah/kampus, dan yang paling perlu diwaspadai dan dibentengi yaitu penyebaran melalui media sosial,” pungkas Bogiek.
Bogiek menegaskan Indonesia bukan negara yang berazaskan agama dan juga bukan negara sekuler, Indonesia adalah negara yang berketuhanan dengan berazaskan Pancasila dan UUD 45, ini sudah final dan tidak perlu diperdebatkan lagi dan kita sebagai anggota Polri harus menjaganya.
Modus baru aksi teror saat ini adalah menempatkan perempuan dan anak sebagai pelaku aksi teror, sebagaimana yang baru saja terjadi di Polres Siantar, pelaku seorang perempuan yang menabrakkan motornya ke kantor SPKT.
Kemudian modus lainnya menargetkan rekrutmen milenial yang sedang dalam pencarian jati diri dan identitas, serta infiltrasi dengan menargetkan aparat TNI, Polri dan ASN.
Dari hal inilah diungkap fenomena internal di dalam tubuh Polri oleh Bogiek yang sudah terdeteksi oleh Densus 88 AT Polri yaitu adanya oknum anggota Polri yang membentuk organisasi atau komunitas intoleran yang mengarah kepada radikalisme, yang sudah masuk ke dalam tubuh institusi Polri dengan pintu masuknya lewat kajian kajian agama yang membawa gerakan wahabisme dan salafisme yang membentuk komunitas Polisi Cinta Sunnah yang kemudian bertansformasi menjadi Pembelajaran Cinta Sunnah.
Dibagian akhir ceramahnya, Bogiek menyampaikan beberapa langkah pencegahan penyebaran radikalisme dan terorisme yang dapat diaplikasikan oleh para siswa nanti di lapangan setelah lulus Pendidikan.
Menutup pemaparannya, Bogiek menyatakan dengan senjata anda bisa melumpuhkan teroris dan dengan pendidikan anda bisa membunuh terorisme.
Sementara, Habib Nuruzzaman, MAg menyampaikan tiga hal yang menjadi tantangan serius bangsa Indonesia terkait perkembangan bahaya intoleransi dan radikalisme yaitu, pertama kelompok yang mempertanyakan konsensus Kenegaraan/Kebangsaan atau kelompok yang ingin merubah NKRI, Pancasila dan UUD 1945.
Kelompok ini terdapat tiga kelompok di Indonesia yaitu Ikhwanul Muslimin yang ingin merubah NKRI menjadi negara Islam, kemudian Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang ingin merubah NKRI menjadi Khilafah serta kelompok Jihadis yaitu NII dan Jamaah islamiah diantaranya.
Habib melanjutkan tantangan yang kedua adalah orang atau kelompok yang menganggap dirinya paling benar dan yang lain salah, yaitu kelompok Wahabi – Salafi, dan yang ketiga adalah Silent Mayority atau kelompok mayoritas diam, tidak bergeming dengan apa yang sedang dihadapi tapi cenderung medukung faham radikal tersebut.
Di dalam tubuh Polri hal ini tidak boleh terjadi karena akan berpengaruh pada proses penegakan hukum ditengah masyarakat dan cenderung akan membela serta membiarkan kelompoknya berbuat aksi.
Habib menutup ceramahnya dengan dengan semboyan, kalau ada 1000 orang yang ingin mempertahankan NKRI dengan darah dan nyawanya, maka disitu pasti ada saya.
Kalau ada 100 orang yang ingin mempertahankan NKRI dengan darah dan nyawanya, maka disitu pasti ada Saya.
“Jikalau ada 10 orang yang ingin mempertahankan NKRI dengan darah dan nyawanya, maka disitu pasti ada saya, dan kalaupun hanya 1 orang yang ingin mempertahankan NKRI dengan darah dan nyawanya, maka pasti itu saya, itu yang harus jadi pegangan kita,” ujar Habib.
Kemudian ceramah pembekalan ditutup oleh penceramah ketiga yaitu Ustadz Sofyan Tsauri yang menceritakan pengalamannya yang mantan polisi kemudian pernah menjadi teroris dan sekarang kembali kepangkuan Indonesia, pengalamannya disampaikan sebagai pedoman bagi kita semua agar tidak terjerumus dengan faham faham radikal yang berkedok agama, berdasarkan pengalamannya dari 3000 teroris yang ditangkap semua berfaham aliran Wahabi salafi.
Ustadz Sofyan Tsauri berpesan jangan sampai terjebak dengan pendidikan, tarbiyah atau majelis majelis yang intoleran, hati – hati dalam menyekolahkan anak – anak kita, hati – hati dalam mencari guru.
Menutup ceramahnya beliau menyampaikan Alhamdulillah Indonesia sampai saat ini gagal disuriahkan, Pancasila adalah kekayaan kita, hindari konflik komunitas ditengah masyarakat karena setiap konflik atau chaos adalah peluang bagi teroris, jangan sedikitpun diberi ruang. Polri adalah benteng bangsa Indonesia. (JN/**)