MEDAN – Gubernur Sumatera Utara (Gubsu), Edy Rahmayadi mengharapkan seluruh Kabupaten/Kota untuk memprioritaskan komoditas pangan strategis dalam mengatasi inflasi yang terjadi di Sumut.
Ke dapan Sumut juga diharapkan dapat menjadi provinsi yang produktif dalam menyelesaikan persoalan pangan. Hal itu disampaikannya kepada seluruh Walikota/Bupati dalam rapat koordinasi provinsi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) se-Sumut melalui video conference di Posko Penanganan Covid-19 Sumut, Selasa (21/7/2020).
Hadir di antaranya Sekretaris Daerah Provinisi Sumut (Sekdaprovsu), R. Sabrina, Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Sumut, Wiwiek Sisto Widayat, Kepala BPS Sumut, Syech Suhaimi, para Walikota/Bupati, para Kepala OPD provinsi, serta seluruh anggota TPID Sumut.
“Masing-masing Kabupaten/Kota diharapkan menjadikan ini (pangan) prioritas, sehingga ada kerjasama apa yang bisa dilakukan oleh provinsi. Saya mengharapkan ini menjadi raport kita untuk menjadikan provinsi ini menjadi provinsi yang produktif dalam menyelesaikan persoalan pangan ini ke depan,” ucap Edy.
Dijelaskannya, beberapa komoditi yang surplus yakni beras sebanyak 813.020 ton, cabai merah 20.425 ton, cabai rawit 11.394 ton. Sedangkan penyumbang defisit yakni pada komoditas bawang merah defisit sebanyak 25.686 ton dan bawang putih 25.324 ton.
Dari seluruh kabupaten/kota di Sumut, Kota Sibolga termasuk yang seluruh produksi dan kebutuhan pangan strategisnya 100% defisit, Kabupaten Labuhanbatu Selatan hanya dapat menyumbangkan surplus beras 8%, cabai merah 7%, cabai rawit 13%, bawang merah 1% serta defisit 100% komoditi bawang putih.
“Daging ayam, telur, minyak goreng kita ok. Tapi gula pasir kita pada posisi defisit. Ini merupakan gambaran yang terjadi pada 33 kabupaten/kota kita. Jadikan target kerja kita dalam mengatasi inflasi ini. Saya yakin ini bisa, karena tanah kita memungkinkan untuk ini semua. Tinggal bagaimana kita mau atau tidak untuk menjadikan ini prioritas,” katanya.
Sementara itu, Kepala Perwakilan BI Sumut, Wiwiek Sisto Widayat menjelaskan, perekonomian Sumut tercatat tumbuh 4,65% (yoy), jauh di atas Nasional dan Sumatera yang masing-masing tercatat 2,97% (yoy) dan 3,25% (yoy). Secara spasial, pertumbuhan ekonomi Sumut tertinggi ke-2 setelah Sumsel (4,98% yoy).
“Di era pandemi, realisasi ini masih cukup baik meski melambat dibandingkan triwulan sebelumnya (5,21% yoy), sesuai pola historis di awal tahun. Masih baiknya perekonomian Sumut diindikasi karena dampak Covid-19 belum menjalar ke level regional, dimana kasus pertama di Indonesia baru dirasakan pada awal Maret 2020,” jelas Wiwiek.
Disampaikannya juga, perkembangan inflasi Sumut terjadi pada Juni mengalami deflasi yang tercatat -0,07% (mtm), lebih rendah dari bulan sebelumnya yang tercatat inflasi 0,43% (mtm) serta lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang tercatat deflasi -0,29% (mtm) serta dari Sumatera dan Nasional.
“Hingga per Juni 2020 secara akumulasi terhitung sebesar 0,61 ytd sementara tahunan -0,09 yoy,” katanya.
Secara spasial, tekanan harga di seluruh kota Indeks Harga Konsumen (IHK) menurun. Deflasi terjadi di Kota Pematangsiantar (-0,13 mtm), Medan (-0,09% mtm) dan Padangsidimpuan (-0,02% mtm). Sementara dua kota IHK lainnya mengalami inflasi, antara lain Kota Gunungsitoli (0,22% mtm) dan Kota Sibolga (0,13% mtm).
“Deflasi bersumber dari kelompok makanan (volatile food). Aspek struktural masih menjadi kendala kesinambungan produksi/pasokan, seperti perencanaan tanam/produksi yang masih lebih dipengaruhi dinamika harga, belum optimalnya mitigasi terhadap dampak kondisi cuaca terhadap produksi, serta kendala kepastian bagi terserapnya hasil produksi petani dengan harga wajar. Karakteristik bahan pangan yang mudah rusak juga memengaruhi dinamika pasokan dari sisi distribusi,” jelas Wiwiek.
Wiwiek juga menyampaikan TPID Sumut telah melakukan upaya pengendalian inflasi melalui kebijakan 4K yakni Ketersediaan Pasokan, Kelancaran Distribusi, Keterjangkauan Harga, dan Komunikasi yang Efektif.
Pertama, pada Ketersedian Pasokan TPID Sumut melakukan monitoring pasokan untuk mewujudkan pangkalan data yang dapat dijadikan acuan, rencana pengelolaan sistem resi gudang (SRG) di Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Langkat oleh PT Dhirga Surya, intervensi penanaman bawang putih dan penangkaran bibit bawang merah oleh Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura untuk memenuhi kebutuhan Sumut yang masih defisit.
Kedua, Kelancaran Distribusi yakni melakukan peningkatan efektivitas kerja sama antar daerah, Optimalisasi digitalisasi untuk UMKM dan upaya memotong rantai pasok yang panjang sehingga NTP meningkat.
Ketiga, Keterjangkauan Harga, melakukan rencana penyusunan Perda yang mengamanatkan Dhirga Surya sebagai stabilisator harga di Sumut, rencana penyerapan suplai cabai merah yang akan panen melalui PT AIJ saat harga sedang rendah, serta pemantauan harga 6 komoditas pangan utama oleh Satgas Pangan serta pemantauan langsung ke distributor dan FGD jika adanya kenaikan harga.
Terakhir, Komunikasi yang Efektif TPID Sumut melakukan kampanye belanja bijak (tidak menimbun barang) serta belanja online melalui radio dan media informasi lainnya. Wiwiek memprediksi inflasi 2020 diprakirakan akan lebih rendah dari tahun 2019 dan berada di bawah sasaran inflasi nasional dengan potensi bias ke bawah seiring dengan daya beli masyarakat yang terbatas akibat Pandemi Covid-19.
“Namun demikian, terdapat beberapa risiko yang dapat menimbulkan shock temporer seperti keterlambatan impor luar negeri, kenaikan harga emas, hambatan distribusi domestik, dan penimbunan/belanja berlebihan oleh konsumen,” katanya.
Dalam mengatasi ini dijelaskannya, dapat diselesaikan dengan membangun hubungan yang solid antara sisi produksi dan distribusi melalui agregator pertanian yang terhubung dengan e-commerce untuk memastikan kepastian serapan pasar terhadap hasil produksi petani.
Pemanfaatan e-commerce di sisi distribusi diharapkan dapat sekaligus mengatasi permasalahan K3 (tantangan distribusi). Selanjutnya, peningkatan produktivitas dengan implementasi Internet of Things (IoT) di sisi produksi dapat dilakukan untuk meng-address permasalahan K2 (ketersediaan pasokan) dengan memperkuat model bisnis antara agregator dan produsen dengan optimalisasi dukungan input produksi terhadap produsen.
Pengendalian inflasi melaui penguatan klaster pangan dan pengembangan digitalisasi di sisi hilir dengan menghubungkan produsen (petani) langsung kepada konsumen-konsumen baik melalui sinergi UMKM atau pemanfaatan e-commerce.
“Upaya ini dapat mendorong kesejahteraan petani dengan menerima penghasilan yang lebih besar dan harga di tingkat konsumen lebih efisien dan ekonomis dengan rantai distribusi yang lebih pendek,” tandasnya. (IP)