MEDAN – Perkumpulan Penggarap Tanah Terlantar (P2T2) meminta Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri Keuangan, Menteri ATR/BPN, serta Menteri BUMN untuk menelusuri realisasi administrasi terkait aset negara berupa tanah negara yang sudah dilekatkan hak berupa Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) pada Perusahan Terbatas Perkebunan (PTP) II, yang sebelumnya PTPN II.
Direktur Eksekutif P2T2, Arman Suleman, S.Pd MBA mengatakan, Menteri ATR/BPN RI sebaiknya memberikan informasi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dari Kementerian ATR/BPN terkait kenapa masih terus terjadi konflik dengan masyarakat di atas SHGU PTP II sampai saat ini.
Menurutnya, itu pertanyaan besar yang belum terjawab oleh pemerintah.
“Kami berharap auditor keuangan negara mumpuni melakukan pengawasan dan atau pemeriksaan kinerja dan keuangan terhadap segala kebijakan Pemerintah dalam menuntaskan persoalan konflik itu dengan cara yang sesuai perundangan.
Tentu harus dimulai dari proses SHGU itu terbit sampai dengan HGU itu kembali menjadi berstatus tanah negara karena telah habis masanya,” ujar Arman Suleman, Rabu (30/3/2022).
Arman Suleman juga meminta BPK RI dapat membantu aparat hukum mengungkap dugaan tindak pidana terkait penyimpangan kewenangan di atas tanah negara SHGU tersebut.
Sebab aparat Kejaksaan Tinggi Sumut menyatakan tidak mampu mengungkap laporan dari masyarakat dengan alasan sudah mereka publikasi melalui media massa.
Terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang melahirkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 20 tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar.
Apalagi, tambah Suleman, PP 20 tahun 2021 menyebut bahwa tanah adalah modal dasar dalam pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat, bangsa, dan negara Indonesia. Karena itu, tanah harus diusahakan, dimanfaatkan, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
“Kami ingin mempertanyakan seperti apa mekanisme realisasi pendistribusian tanah negara yang dilakukan oleh jajaran Kementerian ATR/BPN RI terkait habisnya masa HGU PTPN II sesuai Surat Keputusan Kepala BPN Nomor 42, 43 dan 44 tahun 2002 dan nomor 10 tahun 2004?” tanya Arman Suleman.
Pasalnya, lanjut Arman Suleman, bahwa lahan seluas 5.873,06 (lima ribu delapan ratus tujuh puluh tiga koma nol enam) hektare tidak diperpanjang lagi. Apa dasar putusannya? Dimana saja titik koordinat yang tidak diperpanjang? Lantas bagaimana terhadap luasan lainnya? Apa landasan hukum Kementerian ATR/BPN RI sampai bisa memunculkan angka 5.873,06 hektar? Mengapa bukan angka yang lazim yakni 20 (dua puluh) persen dari luasan SHGU saat akan diperbaharui?.
Koordinator Penggarap, Syahrial Harahap menyebutkan, Kementerian ATR/BPN RI memiliki mekanisme sampai kemudian terjadi proses verifikasi oleh Pemerintah Daerah Sumatera Utara agar tanah negara bebas itu bisa distribusikan kepada masyarakat. Lalu setelah itu baru Kementetian ATR/BPN RI menerbitkan alas hak atas nama warga.
“Seperti apa mekanisme distribusinya. Jika seperti sekarang sebagian dari HGU didistribusi, lantas kapan sesungguhnya ada keputusan bahwa HGU itu diindikasi terlantar sehingga didistribusi? Bila HGU itu dikelompokkan terlantar baru sesungguhnya bisa didistribusi. Yang terjadi saat ini justru tidak demikian. Maka persoalan konflik itu tetap terus terjadi. Belum lagi karena area HGU tidak terkontrol dengan baik selayaknya pemegang HGU sejak 1995-an sampai sekarang. Terbukti area itu ditata kelola oleh masyarakat kok,” ungkapnya.(JN/r)