JELAJAHNEWS.ID, JAKARTA – Walau digunakan secara lintas kementerian/lembaga untuk keperluan sinkronisasi bantuan sosial (bansos), Pemerintah menjamin keamanan data dari para penerima Kartu Prakerja.
Tujuannya, agar program-program yang dikeluarkan pemerintah untuk membantu masyarakat bisa lebih tepat sasaran. Hal ini diungkap oleh Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan, dan Daya Saing Koperasi UKM Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Ketua Tim Pelaksana Kartu Prakerja, Mohammad Rudy Salahuddin.
“Prinsipnya, PMO (Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja) harus melakukan penelaahan data dari sisi legal atau data dengan mempertimbangkan prinsip perlindungan data pribadi. Ini agar PMO akuntabel dalam pertukaran data dan mitigasi risiko kebocoran data yang sangat marak saat ini,” ungkap Rudy dalam diskusi virtual yang diadakan PMO, beberapa waktu lalu.
Rudy pun memaparkan, saat ini kementerian/lembaga yang bekerja sama dengan PMO dalam rangka sinkronisasi data penerima bansos dan data penerima serta pendaftar Kartu Prakerja. Yakni, Kementerian Dalam Negeri terkait kependudukan sipil dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam rangka verifikasi data pelajar dan mahasiswa.
Lalu, juga dengan Kementerian Agama untuk data kepesantrenan, Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan terkiat pekerja, dan Kementerian Sosial terkait sinkronisasi bansos lain. Misalnya Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, dan lainnya.
Kemudian, Kementerian BUMN terkait sinkronisasi daftar hitam alias blacklist kepesertaan Kartu Prakerja yang tidak boleh diterima oleh direksi dan komisaris perusahaan pelat merah. Dan tak ketinggalan, data Kartu Prakerja juga disinkronkan dengan data di PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero) karena Anggota TNI, Polri, dan Aparatur Sipil Negara (ASN) tak boleh menerima Kartu Prakerja.
“Data yang didapat atau masuk dari kementerian/lembaga lain ke PMO terdiri dari NIK individu yang masuk blacklist, maka di dalamnya underlying dokumen perlu serah terima data dan PMO perlu memperjelas klausul penggunaan data serta kewajiban dalam proses atau penggunaan data,” jelasnya.
Lebih lanjut, Rudy berharap berbagai mitigasi di dalam sinkronisasi data bansos ini bisa mencegah risiko kebocoran hingga penyalahgunaan data kepesertaan Kartu Prakerja. Sebab, data yang masuk di program ini sangat banyak.
“Data ini bukan hanya yang menerima (Kartu Prakerja) saja 5,6 juta orang, tapi yang mendaftar, itu ada 42 juta orang lebih, itu ada di sistem Kartu Prakerja. Dengan maraknya kejahatan cyber dengan motif beragam, maka urgensi dari perlindungan data menjadi mutlak,” tandasnya.
Sebagai informasi, pemerintah menyelenggarakan Kartu Prakerja pada tahun ini sebagai program semi bansos. Penerima mendapat pelatihan seperti konsep awal program, namun juga menerima insentif Rp.3,55 juta untuk menambah daya konsumsi di tengah tekanan pandemi covid-19. (cni)