MEDAN – Namanya adalah Jonatan Ginting (79) seorang duda tua renta dan sudah sakit-sakitan dan Medan Ribka Br Surbakti (62) seorang janda yang sudah sakit-sakitan tak kenal lelah terus berjuang untuk memperoleh hak atas tanah milik mereka.
Ketika disambangi di kediamannya di Pancur Batu, Jumat (15/10/2021), Ribka sapaan akrabnya dengan ramah menyambut kedatangan kru media ini. Ia antusias naik dari tempat duduknya sembari memberi salam dan mempersilahkan duduk di ruang tamu yang sederhana, sembari menyodorkan air mineral di meja tamunya.
Ribka tak sendirian, dengan kondisi fisiknya yang kurang sehat, ia ditemani anak dan cucunya. Karena faktor usia dan beberapa bulan terakhir kesehatannya agak menurun, Namun, aura diwajahnya masih terpancar spirit berjuang saat berbincang-bincang dengan kru media ini.
Selidik demi selidik, rupanya wanita tua ini sudah mati-matian berjuang selama bertahun-tahun demi meraih hak-hak atas tanah miliknya di daerah KM 82 gerbang seksi 3, Kecamatan Kandis Kota, Kabupaten Siak, Provinsi Riau.
Perjuangan yang tak kenal rasa takut yang jauh dari keraguan itu, Ribka pun takkan berhenti mencari untuk meraih secercah harapan demi mendapat keadilan, lantaran yang sehamparan dengan mereka sudah dibayar 5 orang dan tidak dipotong 100 Meter tetapi hanya dipotong 17 Meter DMJ (Daerah Milik Jalan).
Ribka menceritakan, Jonatan Ginting, semula luas tanahnya terkena proyek jalan tol Pekanbaru-Dumai seluas 3.010 M² dan berubah menjadi 1.679 M² dengan alasan 100 M² dari jalan Raya adalah milik SKK Migas dikurangi 1.331 M², padahal tanah Jonatan Ginting sudah memiliki sertifikat dari tahun 2004 dengan alas hak SKGR tahun 1983.
Hal sama dialami Medan Ribka Br Surbakti, semula luas tanahnya 5.996 M², terkena proyek jalan tol Pekanbaru-Dumai seluas 4.861 M², sisa tanah seluas 1.135 M². Seiring berjalannya waktu, tanah mereka yang dinyatakan terkena proyek jalan tol Pekanbaru-Dumai menjadi 2.540 M² dengan alasan 2.321 M² milik SKK Migas yang dikeluarkan SK Gubernur tahun 1959, bahwa 100 M dari jalan raya kanan-kiri milik SKK Migas sepanjang 181 Km Rumbai-Dumai.
“Tanah tersebut diatas, dibeli tahun 2009 dengan alas hak tahun 1987 seharga Rp130.000.000 dengan surat SKGR. Pada tahun 2013 saya mengajukan surat sertifikat ke BPN Siak dengan membayar biaya sertifikat. Disamping membayar biaya sertifikat saya disuruh membayar uang BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) senilai Rp11.400.000 dengan alasan tanah tersebut harganya lebih dari Rp60.000.000 dan disuruh mengirim melalui Bank Riau kepada bendahara penerimaan pembantu DPPKAD Kab Siak dan saya ada bukti,” ujar Medan Ribka br Surbakti, Jumat (15/10/2021).
Tidak sampai disitu, pada 1 Desember 2017 Medan Ribka Br Surbakti dan Jonatan Ginting mendatangi kantor BPN-Siak guna menanyakan keaslian sertifikat mereka. Kepala BPN-Siak menyatakan bahwa sertifikat mereka asli, lantaran waktu mengambil sertifikat langsung Medan Ribka Br Surbakti dan menandatangani surat tanda terima nya (tidak melalui calo) dan keluar sertifikat pada Tanggal 30-06-2014 dengan nomor sertifikat 00748.
“Diatas tanah itu sekarang sudah dibangun jalan tol sudah selesai 85% dan kami belum menerima uang ganti untungnya sepeser pun, tanah yang seluas 2.540 M² dihargai seharga Rp.26.000 sedangakan NJOP Rp 64.000, dan kami sudah pernah menggugat aprisial KJJP Abdulah dengan harga tersebut tapi ditolak dengan harga tetap Rp26.000,” imbuh Ribka.
Kemudian, pada tahun 2020 pengadilan Siak menawarkan mereka yang di klaim SKK Migas dengan harga Rp300.000/M. Lantas, mereka bertanya-tanya apakah logika 1 sertifikat dan 1 hamparan nilai nya jauh berbeda (12 kali lipat)?, Tapi yang ditawarkan senilai Rp300.000 dinyatakan 2 pemiliknya.
“Satu atas nama tersebut diatas dan satu lagi atas nama SKK Migas dan pihak PUPR dan HKI menawarkan kepada kami untuk membayar tanah tersebut kepada mereka tapi tanah nya harus dikontruksi dulu sambil menunggu uang dititipkan di pengadilan. Disitu ikut menandatangani Camat Kandis, Lurah Kandis, RT 007 KM 82, pihak HKI (Bpk Bambang) dan pihak PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) Monalisa (bukti ada),” ujarnya.
Disamping itu, proyek jalan tol hampir 85% selesai, namun uang yang ditunggu tidak pernah dibayar dan pihak PPK dan HKI sulit dihubungi. Sepertinya surat perjanjian itu dianggap sampah.
“Dengan berat hati Medan Ribka Br Surbakti dan Jonatan Ginting menutup jalan yang hampir selesai, mulai dari tanggal 17/7/2020 sebelum diresmikan sampai sekarang (selama 15 bulan),” tukas Ribka.
Dengan berurai air mata, Medan Ribka Br Surbakti menyatakan ia sangat mendukung pembangunan apalagi proyek nasional demi maju nya perekonomian Porvinsi Riau.
“Tetapi jangan kami dikorbankan dan ditindas. Kami memohon kepada yang terhormat Bapak Jokowi untuk memperhatikan kami yang sudah tua renta dan tidak tahu hukum, Bapak pernah berkata jalan tol ini ganti untung nyatanya kami ganti buntung (10 X buntung). Dan kepada Bapak-Bapak yang ada di Sumatera Utara dan Riau/Jakarta yang tahu hukum, kami ingin menanyakan lebih tinggi mana derajatnya SK daripada SHM/Sertifikat?,” pintanya sembari menesteskan air mata.
“Kami sudah tua dan tidak mengerti hukum dan Undang-Undang, mohon kami dibantu, yang menjadi pertanyaan kami, uang yang mengurus SKGR, mengurus sertifikat dan membayar BPHTB dengan nilai puluhan juta rupiah. Kenapa pemerintah tidak bertanggung jawab? Dan apakah itu dapat disebut sebagai uang pungli atau pemerintah sudah menipu rakyat nya sendiri?,” tandasnya lagi.
Lebih ironi, pihak RT, RW, Lurah, Camat, BPN dan Bupati tidak pernah memanggil SKK Migas untuk klarifikasi dan untuk melihat surat asli SK Gubernur tahun 1959 tersebut. “Kemana pun saya tidak akan pernah takut memperjuangkan hakku. Tanahku dipakai Negara untuk akses jalan Tol, tetapi tidak dibayarkan sepersen pun oleh pemerintah uang ganti rugi tanah saya, mana keadilan itu?,” tambah Ribka.
Walau usia tak muda lagi, ia akan terus menerus mencari keadilan di Negeri tercinta ini. Disela-selah ceritanya, ia mengatakan bahwa ada data dalam indentitas KTP yang diduga dipalsukan oknum tertentu, sembari menunjukkan identitas, dibuat dirinya lahir di Kota Jambi pada tahun 1965 serta nomor NIK berbeda dengan KTP aslinya.
Dikisahkan Ribka, awal mula di tahun 2017 silam, saat tanahnya diukur tidak pernah diberitahukan kepadanya dan tidak ada musyawarah dan oleh aprisial pun tidak pernah menanyakan harga pasaran tanah di kandis kota kepada pak lurah.
“Mohon kepada pemerintah bahwa kami juga ingin mendapatkan hak kami sesuai dengan sila ke 4 dan sila ke 5 pancasila, karena sehamparan dengan kami tidak ada dipotong, 100 M dibayar dengan harga bervariasi ada yang Rp264.000 dan ada yang Rp500.000/M dan tanah mereka hanya di potong 17 Meter dari jalan AS/DMJ (Daerah Milik Jalan), kenapa kami dipotong 100 M?,” pungkasnya. (BTM)